PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh Dr. ABDUL MAJID
Harian Pikiran Rakyat 09-04-05
PERNIKAHAN bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai di dalam
kehidupan bermasyarakat. Mungkin contoh yang banyak terekspos ke masyarakat
luas hanyalah pernikahan atau perkawinan dari pasangan para selebriti kita.
Ambillah beberapa contoh dari pasangan suami istri, Nurul Arifin-Mayong; Ira
Wibowo-Katon Bagaskara; Dewi Yull-Rae Sahetapy (yang akhirnya Rae menjadi
Muslim, tetapi kini telah bercerai dengan Dewi), Nia Zulkarnaen-Ari Siasaleh.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah
agama, melainkan hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu
pernikahan. Masalah agama dalam beberapa argumen pasangan-pasangan seperti
itu kira-kira dapat dirumuskan begini, "Agama tidak boleh dibawa-bawa, oleh
karena agama adalah urusan pribadi seseorang. Yang terpenting kita saling
mencintai apa tidak?"
Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya
ialah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu
perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati
dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suamiistri
akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan
bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin.
Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri di atas akan dapat
terwujud bila suami-istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya
berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi
sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di
lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak,
pengaturan tatakrama makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain
sebagainya.
Islam dengan tegas melarang seorang wanita Islam kawin dengan seorang pria
non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlulkitab. Dan seorang pria Islam secara
pasti dilarang menikahi seorang wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan
tersebut mutlak diharamkan. Mengapa? Karena pernikahan yang berlanjut kepada
lembaga keluarga bisa menjadi institusi penting dan strategis untuk memindahkan
dan menanamkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya. Banyaknya kasus
murtad atau pemurtadan antara lain melalui perkawinan beda agama. Adapun
yang menjadi persoalan sejak zaman sahabat Rasulullah hingga abad modern ini
adalah perkawinan antarpria Islam dengan wanita Ahlulkitab atau Kitabiyah.
Berdasarkan zahir ayat 221 pada Surat Al-Baqarah/2, menurut pandangan
kebanyakan ulama, pernikahan seorang Muslim dengan Kitabiyah diperbolehkan.
Namun sebagian ulama mengharamkannya atas dasar sikap musyrik Kitabiyah.
Dan masih banyak sekali ulama yang melarang sebab pada akhirnya kelak fitnah
atau mafsadat dari bentuk perkawinan tersebut akan sangat mudah sekali muncul.
Untuk memperjelas maksud dari isi serta tujuan akhir beberapa pemikiran yang
telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis akan melihatnya dari beberapa
pandangan ulama mengenai beberapa teks ayat atau hadis Nabi Muhammad saw;
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan kesimpulan serta saran
yang akan diajukan.
Pandangan ulama
(1) Wanita Islam dengan pria bukan Islam. Seluruh ulama sejak zaman sahabat
hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin
dengan pria bukan Islam. Dasar keharamannya termaktub di dalam Alquran Surah
Al-Baqarah/2:221. "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu".
Firman Allah di atas menegaskan kepada para wali untuk tidak menikahkan
wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam. Keharamannya bersifat mutlak,
artinya wanita Islam mutlak haram kawin dengan laki-laki selain Islam baik lakilaki
musyrik atau Ahlulkitab. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa satu syarat
sahnya perkawinan seorang wanita Islam ialah pasangannya harus pria Islam.
(2) Pria Islam dengan wanita bukan Islam. Dalam kitabnya, Tafsir Ayat Al-
Ahkam, Ali Al-Sayis menjelaskan makna muhshanat dalam ayat 5 Surat Al-
Maidah (5), "Wanita-wanita yang menjaga kehormatan (al-muhshanat) di antara
wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al-Kitab" adalah wanita yang merdeka (bukan hamba sahaya).
Demikian pula Ali Al-Shabuni menjelaskan dalam Kitab Tafsir ayat Al-Ahkamnya
bahwa maksudnya adalah mengawini perempuan-perempuan merdeka dari
perempuan-perempuan mukmin dan perempuan Ahlulkitab. Sedangkan mufassir
lainnya menyatakan bahwa al-muhshanat adalah perempuan-perempuan yang
memelihara kehormatan dirinya.
Adapun dasar keharamannya mengawini seorang wanita Kitabiyah yang sudah
menyimpang oleh karena kemusyrikan mereka. Firman Allah, "Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah, dan (juga mereka telah mempertuhankan) Al-Masih Putra Maryam padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Tidak ada
Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan" (Q.S. At-
Taubah/9:31). Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh
seorang pria Islam.
Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak
mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu,
(1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak
murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita Kitabiyah
yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan
Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan
kaum Muslimin.
Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah.
Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang dikawini; (4) Di balik perkawinan dengan
Kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan. Makin
besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan
keharamannya. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan, "La dharara wa la
dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan”).
Selanjutnya Qardlawi menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang akan
terjadi manakala kawin dengan wanita non-Muslim: (1) Akan berpe-ngaruh
kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih
banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim yang belum
kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan
wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui
suaminya berpoligami; (2) Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya.
Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi
kenyataan, dan (3) Perkawinan dengan non-Muslimah akan menimbulkan
kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya.
Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa dan
budaya. Misalnya, seorang Muslim Timur kawin dengan Kitabiyah Eropa atau
Amerika.
Sedangkan dalam Alquran dan tafsirnya, kelompok penerjemah dan penafsir
Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan bahwa,
"Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak
dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi
perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki
lainnya".
Menurut UU Perkawinan
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 mengenai perkawinan seperti disebut pada Pasal 66 UUP, maka
semua ketentuan-ketentua perkawinan terdahulu seperti GHR, HOCI dan Hukum
Perdata Barat (Burgelijk wetboek) serta peraturan perkawinan lainnya sepanjang
telah diatur dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 2 (1) UUP berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan
UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas
menafsirkan pasal 2 (1), "Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang
Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Buddha seperti dijumpai di Indonesia".
Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik untuk
dibicarakan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam bukunya,
Rusli (1984) menyatakan bahwa "perkawinan antaragama tersebut merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama,
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat
dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masingmasing,
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".
Oleh karena itu, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga
mazhab yang berbeda dalam memandang Undang-undang Perkawinan bila
dihubungkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab
pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 8 huruf (f), di mana pasal tersebut berbunyi, "Mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin".
Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat
dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga
pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang
perkawinan campuran menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang
yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang
diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR).
Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali
tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturanperaturan
lama sepanjang Undang-undang itu belum mengatur masih dapat
diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah
merujuk kepada Peraturan Perkawinan Campuran.
Dari ketiga mazhab di atas maka penulis mengemukakan pandangan bahwa
sebaiknya penentuan boleh tidaknya perkawinan antarorang yang berbeda agama
sehingga lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan
pada hukum agama. Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan
dikatakan boleh atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi,
untuk perkawinan antaragama, penentuan boleh tidaknya bergantung pada hukum
agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.
Merujuk pada Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8
(f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya
kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan
atau dilarangnya perkawinan antaragama. Untuk itulah maka agama-agama selain
Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit
berbeda.
Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya
perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan
dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan
membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat bahwa pihak
yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak berkeberatan
perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu dan
Buddha melarang dilakukannya perkawinan antaragama.
Penulis, dosen Universitas Pendidikan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar